1. Problem dengan teman
Remaja sering dipusingkan dengan teman-teman sendiri. Di satu pihak mereka
sangat butuh teman untuk jadi tempat curhat, ketawa ketiwi, rame bareng, main,
gaul, atau jadi kebanggaan tersendiri kalau bisa gabung dengan teman-teman itu.
Tapi di lain pihak, teman-teman yang sama bisa jadi persoalan ketika mulai ada
ketidaksamaan yang sulit dijembatani tanpa menipu diri.
2. Problem cinta
Jatuh cinta tidak selalu berjuta rasanya, karena banyak lika liku yang
dihadapi. Jangan anggap remeh urusan patah hati, karena moment itu bisa membuka
pintu berbagai persoalan yang selama ini ditekan, disembunyikan, diabaikan,
dsb. Dengan catatan, jika di masa sebelumnya, remaja sudah punya persoalan
tersendiri yg kompleks tapi di-repress habis.
3.Problem akademik
Setiap remaja pasti ingin naik kelas, bahkan kalau bisa jadi juara. Tapi tidak
mudah dapat nilai baik, selain pelajarannya sulit, disiplin diri lebih sulit
lagi. Bellum lagi kalau banyak tugas kelompok dan tugas praktikum bagi yang
sudah di SMU atau kuliah.kompetisi di sekolah, bisa menjadi motivator namun ada
yang menganggapnya sebagai ancaman.
4. Problem dengan orang tua dan anggota keluarga lain
Generation gap membuat komunikasi anak dengan orang tua sering on off bahkan
kurang nyambung. Beda perspektif, beda pendapat, beda kesenangan, beda
kebiasaan, dsb. Selain itu, remaja sering bersitegang dengan orangtua, merasa
kurang dimengerti dan terpaksa nurut karena takut. Belum lagi jika orangtua
atau anggota keluarga lain yg serumah mengalami masalah berat sampai
berpengaruh pada yang lain.
5.Problem diri sendiri
Remaja sering bingung dengan diri sendiri. Keinginan banyak, realisasi
kurang.remaja juga sering bertanya, “kenapa kok aku beda dengan dia?” “Kenapa
aku selalu nggak PD ?” “Kenapa sih aku selalu berubah-ubah? Kenapa emosiku
tidak stabil?” Dan masih banyak persoalan yang berakar dari dalam diri.
Mekanisme Pertahanan Diri
Tentu tidak mudah menangani problem 5 dimensi. Jangankan remaja, orang dewasa
sekalipun banyak yang tidak sukses mengelola problem-problem tersebut. Tidak
jarang, cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi problem malah menimbulkan
problem baru.
Krisis dan masalah sering membuat perasaan kita jadi tidak enak, gelisah,
sedih, marah, dsb. Hampir dipastikan ada reaksi spontan dari dalam diri untuk
mengatasi ketidaknyamanan itu. Mulai dari tindakan ringan sampai ekstrim.
Masalahnya, apakah tindakan itu menyelesaikan masalah, atau sekedar mengobati
perasaan; atau keduanya, atau tidak keduanya – alias, tidak menyelesaikan masalah
dan tidak juga mengobati perasaan.
Beberapa cara
yang umum dilakukan saat remaja mengalami krisis :
- Makan,
nonton, jalan-jalan
- Mengurung
diri and do nothing, hanya melamun, menangis, mengkhayal
- Marah-marah,
berantemin orang-orang dan melampiaskan emosi pada orang lain atau pada
benda-benda di sekelilingnya
- Makin
gencar ollah raga dan aktivitas fisik lainnya, seperti renang, tennis,
lari, bersepeda, naik gunung, martial art, dsb
- Curhat
dengan teman,sms, fb-an, menelpon sana sini
- Baca buku,
prakarya (artcraft), main musik, ciptain lagu dan syair, bikin puisi,
menggambar, membuat kue, memasak, berkebun, menulis buku harian, dsb
- Beres-beres
dan bersih-bersih
- Mabuk-mabukkan
dan menggunakan narkoba
- Mengurus
hewan peliharaan
- Mengurus /
utak atik mekanik mobil, motor atau mesin atau bahkan bikin perabotan
kecil-kecilan
- Self-sabotage
/sabotase diri, seperti tidak makan, tidak mau belajar, tidak
sekolah/kuliah, tidak mau mandi, dsb
- Pornografi
dan gameografi
Masih banyak
reaksi tindakan lain, namun kalau dikategorikan sebenanrnya hanya ada 2 macam :
destruktif atau konstruktif. Yang destruktif jelas merugikan diri
sendiri dan sudah tentu merepotkan orang lain; sebaliknya, yang konstruktif
memberikan efek positif paling tidak bagi diri sendiri. Emosi surut, ada hasil
yang bisa dinikmati pula, apalagi jika orang lain juga kena manfaatnya.
Masalahnya, tidak semua remaja bisa punya cara konstruktif. Jaman
sekarang ini, kegiatan positif seperti mengerjakan hobi dan ketrampilan,
sepertinya sudah banyak ditinggalkan, dan diganti dengan hang out untuk sekedar
jalan-jalan, nonton, gossip, main game dan on line game, browsing internet,
atau tidur-tiduran. Tanpa sadar,
miskinnya kegiatan ini membuat remaja bukan saja jadi malas, tapi jadi nggak
percaya diri ketika berhadapan dengan masalah.
Tentu saja mereka-mereka ini mudah panik dan cemas, takut dan bingung kalau
tiba-tiba kena masalah. Biasanya, mereka mencoba mengandalkan bantuan
teman-teman; ya kalau punya teman. Celakanya kalau tidak punya teman, mau
bicara sama siapa? Mau minta tolong sama siapa? Yang punya teman pun belum
tentu problemnya bisa beres karena teman-teman mereka kebanyakan berkebiasaan
yang sama. Makan, nonton, jalan, shopping, gossip, gaming, nongkrong..solusi
apa yang bisa muncul dari situ? Hiburan sesaat mungkin ya, tapi bukan solusi.
Bahkan kalau dipikir panjang, kebiasaan-kebiasaan itu kan mahal, butuh biaya.
Jadi bisa kebayang, kalau reaksi tindakan tersebut bakal tidak efektif selain
mahal, juga tidak memberi jalan keluar.
Sementara, remaja-remaja yang punya kebiasaan dan kegiatan konstruktif,
menyalurkan emosi dan keresahan pada kegiatannya tersebut. Secara psikologis,
ketika emosi tersalur dengan cara dan media positif, tidak sekedar membantu
menenangkan pikiran, meredakan ketegangan dan menurunkan stress. Kegiatan
konstruktif justru membantu otak membuka kebuntuan-kebuntuan alternatif. Dikala
emosi disalurkan dan dikelola secara positif, otak tetap aktif bekerja sehingga
sering kita menemukan jawaban atas pertanyaan diri, menemukan insight atas
masalahnya, melihat makna dan tujuan, bahkan melihat beberapa alternatif jalan
keluar yang bisa dicoba. Maka, lain halnya, kalau badan dan otak di pasif-kan.
Apa akibatnya kalau masalah dibiarkan berlarut-larut?
Beberapa keluhan yang sering dialami remaja, seperti sulit konsentrasi,
kehilangan motivasi dan semangat, nilai pelajaran turun, dijauhi teman, makin
suka mengkhayal dan berfantasi, terlibat hubungan homoseksual atau lesbian,
kecanduan minum atau drugs, pornografi, onani/masturbasi, depresi, hingga
terlibat tindakan yang bisa membahayakan jiwa dirinya seperti ingin bunuh diri
atau membahayakan orang lain, seperti agresi. Masalahnya, dengan tidak melakukan apa-apa, masalah tetap ada bahkan
bertambah kompleks karena ketambahan masalah harian lain. Nah, kalau sudah
begini, tentu saja remaja merasa masalah lebih besar dari dirinya. Remaja makin
merasa terbeban, tertekan, inferior dan stress. Kerentanan ini lah yang
menyebabkan remaja gampang sekali kena bujuk entah ikut kelompok radikal atau
terjerumus dalam tindakan melanggar hukum, serta terjerat lingkaran narkoba.
Menghadapi pertanyaan orang tua, terutama, menjadi masalah yang luar
biasa besarnya. Remaja jadi kian sensi jika orang tua mulai khawatir dan sering
memberi wejangan. Yang sering terjadi, remaja merasa orang tua tidak mau
mengerti, sementara orang tua merasa anaknya tidak mau terbuka. Komplit sudah
masalahnya!
Mencari jalan keluar
Hubungan yang pura-pura baik (karena
seolah terlihat harmonis di luar), lebih sering mengalami jalan buntu ketimbang
jalan keluar, karena sama2 memaksakan kehendak dan jalan pikirannya
sendiri-sendiri, teori dan asumsi masing-masing. Pun jika ada salah satu pihak
yang mengalah dan nurut, motivasinya untuk menghindari pertengkaran dan resiko
lain. Jadi, bukan menyelesaikan masalah, tapi menunda masalah dengan
cara mendem jero, atau di repress. Nurutnya remaja dengan cara mendem jero,
sangat tidak sehat bagi remaja itu sendiri dan hubungan dengan orang tua maupun
teman-teman.
Selain memendam beban perasaan kesal,
sakit hati, kecewa, remaja juga memendam keinginan, ide-ide yang kalau
dieksplorasi bisa membawanya pada solusi betulan, yang dibutuhkan; bahkan bisa
membuatnya jadi kuat karena menemukan identitasnya lewat pengalaman-pengalaman
ketika krisis. Tapi karena tidak berani menyatakan sikap dan mengambil
resiko, pilihan untuk submisif dan nurut adalah yang termudah. Setelah beberapa
waktu berlalu, bisa berminggu, berbulan atau bertahun, baru terlihat kalau
ternyata masalahnya tidak selesai dan mentalitas sang remaja malah makin lemah
karena makin tidak berdaya dan makin tergantung pada orang lain, tidak berani
berinisiatif dan bereksplorasi.
Keadaan ini bisa lebih parah jika remaja tidak punya hak bicara dan menyatakan pendapat.
Tapi tidak selamanya begitu, ada juga remaja yang sudah diberi hak apapun,
tetap tidak mau dan malas berinisiatif dan berusaha karena takut susah, takut
salah dan takut sakit (emotional pain). Kondisi yang pertama, bisa membuat remaja
kian frustrasi, stress, depresi, bahkan mengalami problem psikologis atau jadi
apatis dan fatalistik. Kondisi kedua, membuat remaja malas, juga apatis,
pathetic, depresi bahkan bisa jadi antisosial. Bayangkan saja, dilimpahi segala
macam, tanpa diharuskan bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Remaja jenis
ini, menggadaikan freedom and liberty – menurut istilah Erich Fromm, “escape
from freedom”, menggadaikan kemerdekaan jiwa demi kenyamanan semu. Inilah yang
membuat jiwa ‘mati selagi hidup’.
Oleh karenanya, keterbukaan adalah pintu
gerbang untuk berbagai alternatif solusi yang tersedia. Remaja sering merasa
‘tak punya pilihan lain’ padahal karena memang belum pernah atau tidak mau
menengok ke sudut lain. Ada juga yang begitu lantaran tidak pernah
diajarkan dan di encourage untuk mencoba menjalani hidup dan memandang diri
sendiri dengan cara yang berbeda dari kebiasaan. Jadi, bayangkan saja jika
hidup remaja hanya diwarnai dengan 2 hal hitam putih, buruk baik, susah atau
enak, begini atau begitu, bagaimana remaja tidak gampang stress dan frustrasi
kalau ketimpa krisis?
Apa yang bisa
dilakukan remaja jika dirinya mengalami masalah?
1. Diskusikan dengan orang yang tepat
Teman tidak selalu pihak yang tepat, apalagi jika hanya mengkonfirmasi hal-hal
yang ingin di dengar. Teman seperti ini, hanya menambah pikiran dan beban
emosional, tapi belum tentu punya solusi. Carilah orang yang mungkin saja punya
pendapat dan jalan pikiran yang beda. Perbedaan itu membuat otak berpikir
kritis dalam membaca persoalan, sehingga sedikit demi sedikit diperoleh
gambaran yang obyektif akan apa yang sebenarnya terjadi. Cara ini membantu
menentukan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan.
Hanya, ada catatan penting, bahwa pola ini efektif membawa hasil jika ada
kerendahan hati untuk mau mengakui dan bisa melihat sikap/tindakan diri sendiri
yang menyebabkan terjadinya masalah. Sikap defensive, membuat apapun saran dan
tawaran solusi, mental. Sebaliknya, sikap defensive, baik itu berupa keengganan
menerima kritik, malu kalau kelihatan kurangnya, sehingga menutup diri atau
diam-diam saja seolah tidak terjadi apa-apa, membuat masalah tidak selesai,
meski dengan berlalunya waktu. Waktu tidak menyelesaikan persoalan.
2. Lakukan tanggung jawab kita
Tanggung jawab harian kita, adalah obat mujarab bagi setiap persoalan. Tanpa
kegiatan, energy stuck, pikiran buntu, emosi membludak, kecemasan meningkat,
kecurigaan dan pikiran negatif bertambah. Jadi, apa yang harus dilakukan,
lakukanlah sebaik mungkin, seoptimal mungkin, bukan demi orang lain, tapi itu
adalah anak tangga menuju jalan keluar dan kunci memelihara stamina mental
serta memberikan therapeutic effect. Jadi, jangan hindari apalagi hentikan
kegiatan yang jadi tugas kita dengan dalih ‘sedang tidak mood’.
3. Jalani hobi dan kegiatan positif
Seperti uraian di atas, menekuni hobi adalah kegiatan nurturing our soul.
Melepaskan tekanan, mengelola emosi dan menenangkan batin. Kita bisa berdialog
dengan diri sendiri dan bahkan mendengarkan petunjuk bijak Tuhan, justru saat
asik mengerjakan hobi.
4. Berinisiatif untuk mencari solusi dan realisasikan dalam tindakan
Bergerak dan mengusahakan sekecil apapun tindakan, akan membawa perbedaan
besar. Meskipun usahanya mentok, bukan berarti gagal, malah memberi pengetahuan
baru bahwa perlu cara lain untuk melangkah berikutnya.
5. Membuka diri, mau melihat sisi lain
Ibarat belajar, jangan hanya membaca dari 1 buku atau 1 orang dan menganggap
itu satu-satunya yang paling baik dan benar. Coba cari teori dan penjelasan
lain tentang masalah yang dihadapi, bisa dengan bertanya pada profesional yang
accessible, baik secara langsung maupun tak langsung (lewat email/internet)
banyak web site yang menyediakan informasi yang dibutuhkan remaja untuk
membantunya memahami, apa sih yang sebenarnya terjadi.
6. Membuka akses komunikasi yang baru
Membuka jalur-jalur komunikasi yang baru, merintis jalur kegiatan baru dan
membuka diri terhadap orang-orang yang punya kepribadian positif. Remaja bisa
banyak belajar dari orang-orang yang jauh lebih matang dalam kepribadian dan
pengalaman; karena orang-orang itu juga pernah jadi remaja dan mengatasi
kompleksitas kehidupan mereka saat itu.
7. Merubah kebiasaan
Tanpa sadar, banyak dari kebiasaan dan rutinitas yang malah memacetkan
pertumbuhan kedewasaan dan penemuan diri. Rutinitas memang membuat nyaman, tapi
jadi tidak sehat kalau kita takut merubah kebiasaan hanya karena takut
kehilangan kenyamanan atau cemas menghadapi ketidakpastian dari sesuatu yang
baru.
8. Berhenti meracuni diri sendiri
Banyak orang yang ketika sedang emosional, punya kebiasaan meracuni diri
sendiri. Merokok, minum, narkoba, bahkan overeating atau malah tidak mau makan
sama sekali, adalah tindakan meracuni diri. Tidak hanya itu,entertaining asumsi
buruk, kecurigaan terhadap orang lain, berpikir negative tentang diri sendiri,
memendam marah, sakit hati, sedih, benci dan iri, adalah bentuk lain dari
meracuni diri. Berbagai hal itu perlu di kelola dan di buang dengan cara yang
tepat dan sehat, supaya tidak berdampak negative buat diri sendiri maupun
orang-orang di sekeliling kita. Istilah kerennya, GIGO – garbage in, garbage
out. Kalau yang dimasukkan buruk, maka yang keluar juga buruk, pikiran buruk
akan menghasilkan tindakan buruk, tindakan buruk akan menghasilkan reaksi buruk
dari sekeliling. Mulailah bertindak selektif, kalau tidak positif – ya untuk
apa di lakukan kalau nantinya hanya merugikan diri sendiri, apalagi orang lain.
9. Berpikir Positif
Prinsip yang harus di yakini, bahwa selama hidupnya, manusia pasti menghadapi
masalah karena dari masalah kita belajar menjadi bijak, pandai dan dewasa.
Jadi, krisis dan masalah bukanlah akhir dari segalanya, tapi awal dari
perjalanan, bekal dalam menempuh petualangan hidup. Carilah segi positif dari
masalah yang sedang dihadapi, pasti ada manfaat di balik semua ini. Orang
mengatakan “blessing in disguise”.
10. Bantulah orang lain!
Setiap orang pasti punya masalah, berat ringannya tergantung persepsi dan
kemampuan masing-masing. Kita suka menganggap masalah kita yang paling berat,
padahal banyak masalah teman-teman dan orang di sekeliling kita yang punya
masalah jauh lebih berat. Kita tidak tahu karena kita tidak cukup membuka diri
terhadap mereka, menyediakan diri untuk memahami kehidupan mereka. Pikiran kita
terfokus pada masalah kita sendiri sampai tidak tahu kalau ada teman yang
kesusahan atau tetangga yang perlu bantuan. Nah, buatlah diri kita berarti bagi
orang lain. Tidak usah harus menjadi pahlawan, lakukan saja apa yang semestinya
dan bisa kita lakukan untuk meringankan beban hidup orang lain. Kita bahagia
kalau kita bisa membantu orang lain. Bukankah kita hidup di dunia ini untuk
bisa membawa kebaikan dan berkah bagi sesama?Meskipun masalah remaja begitu
kompleks, namun di dunia ini juga sudah tersedia jawaban dan solusinya.
Kuncinya, remaja perlu bereksplorasi dan proaktif dalam menempuh petualangan
hidupnya. Ketakutan dan berbagai perasaan itu pasti ada, tapi jangan sampai
dijadikan alasan untuk berhenti berjalan. Persoalan saat ini jangan menjadi
akhir dari segalanya. Perjalanan hidup masih panjang, masih banyak petualangan
menarik untuk dilalui. Pandai-pandai mengelola perasaan dan persoalan selama
berpetualang, sementara jangan kehilangan focus ke masa depan. Teruslah
melangkah dan nikmati setiap moment dalam hidup ini sebagai anugerah kehidupan.
Semoga bermanfaat!